Minggu, 22 Maret 2009

Mempersoalkan Pola Hubungan Presiden-Wakil Presiden Dalam Sistem Presidensial

Pelembagaan politik bentuk pemerintahan dengan sistem presidensial adalah paling banyak dianut oleh banyak negara. US merupakan kiblat utama dari sistem presidensial. Sistem presidensial juga dinilai sebagai bentuk pemerintahan yang lebih modern dan mendukung upaya pembangunan demokrasi. 
Empat ciri sistem presidensial. Pertama, presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilu. Kedua, presiden dan wakil presiden bertanggungjawab pada rakyat. Ketiga, adanya pembatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Keempat, presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan demikian meletakkan posisi presiden dan wakil presiden sebagai puncak kekuasaan yang akan selalu dicapai oleh parpol dalam tiap pemilu. 
Putusan MK Nomor 56/POU/-VI/2008, berarti menutup peluang munculnya kandidat presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Jelas bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik dan/atau gabungan partai politik. 
Akhirnya parpol dihadapkan dua pilihan. Pertama, mengusung kandidat presiden dan wakil presiden dari satu partai. Asumsi dukungan signifikan dalam pemilu legislatif dan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden memiliki derajat keterpilihan dalam Pilpres 2009. Seperti pernyataan Partai Golkar. Bila perolehan suara 30% dalam pemilu legislatif, maka Golkar akan mengusung pasangan kandidat presiden dan walik presiden dari kalangan internal. Kedua, parpol harus menjalin koalisi. Koalisi dua partai atau lebih diharapkan mampu memperbesar derajat keterpilihan pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. 
Koalisi tentunya memiliki pertimbangan. Pertama, kesamaan platform antar parpol dan kandidat. Kedua, dilakukan antar parpol yang memiliki dukungan signifikan. Ketiga, koalisi untuk memperbesar peluang kemengan pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. Keempat, kecocokan secara personal antar pasangan.
Format koalisi menghasilkan ‘win win solution’. Presiden dan wakil presiden merupakan representasi kekuatan politik dan kepentingan. Presiden dari parpol A dan wakil presiden dari partai B.
SBY-JK merupakan koalisi dari Partai Demokrat dan Partai Golkar. Seringkali koalisi tergoyahkan oleh kepentingan politik dan perubahan peta politik yang mengiringinya.
Dipicu oleh sindiran perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2009 akan turun menjadi 2,5% membuat merah telinga para petinggi partai yang diketuai Yusuf Kalla. “sebuah mimpi buruk bagi Demokrat” balasan dari Wakil Presiden yang sekaligus Ketua Umum Partai Golkar. “tidak ada niatan sama sekali menjelekkan karena Golkar merupakan saudara tua” klarifikasi langsung oleh SBY selaku dewan pembina Partai Demokrat sekaligus Presiden RI.
Benih perpecahan dengan cepat menjalar ke arah mengkaji ulang format koalisi SBY-JK. Bukan perkara mudah, dengan perolehan suara 21,6 % pada pemilu 2004 meletakkan seorang ketua umum partai pada posisi wakil presiden. Dan sebuah optimisme tersendiri dengan perolehan 7,4 % partai Demokrat dengan ketokohan SBY mampu meraup dukungan signifikan pada pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. 
Optimisme dan arogansi dua kekuatan politik sangat nampak menjelang Pilpres 2009. JK dengan paratai Golkar-nya menyiratkan siap pisang ranjang dengan SBY dengan partai Demokrat-nya.


Mempersoalkan Hubungan Presiden dan Wakil Presiden
Sebuah pemandangan tak sedap muncul ke permukaan perseteruan SBY dan JK dimulai. Memang patut disesalkan perseteruan ini berdampak pada hubungan kenegaraan. 
Wakil presiden dalam sistem parlementer memiliki posisi sebagai pembantu presiden. Sebagai pembantu presiden,seharusnya wakil presiden menjadi pendukung utama segala kebijakan yang diambil oleh presiden. 
Jelang Pilpres 2009, pola ini berupah total. JK sebagai wakil presiden menjadi lawan utama SBY sebagai presiden, itu diluar kekuatan oposisi Megawati sebagai calon presiden dari PDIP. 
Hubungan kenegaraan SBY dan JK bergeser menjadi hubungan politis. Sikap kenegarawanan antara SBY dan JK, bergeser menjadi sikap elit politik/politisi. Sistim presidensial mengibaratkan presiden dan wakil presiden ‘satu kepala dua kaki’ sekarang berubah ‘dua kepala dua kaki’.  
Inilah yang menjadi problem utama dalam sistem presidensial ketika, pertama, presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda. Kedua, partai politik yang berkoalisi merupakan representasi dua kekuatan politik yang sama-sama besar. Ketiga, presiden dan wakil presiden masuk dalam struktur partai politik yang berbeda. 
Tentunya kondisi ini tidak bisa dibiarkan baik secara konseptual dalam sistem presidensial maupun pelaksanaan di lapangan menyangkut pengaturan pola hubungan presiden dan wakil presiden. 
Solusi dalam perbaikan sistim politik. Pertama, presiden dan wakil presiden berasal dari satu partai politik pemenang pemilu. Kedua, didukung dengan penyederhanaan jumlah partai politik. Ketiga, ketika presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda. Presiden-wakil presiden terpilih harus menagalkan jabatan struktur partai politik. Keempat, regulasi yang mengatur pola hubungan presiden dan wakil presiden hingga masa jabatan berakhir. 
Pembenahan pelaksanaan. Kembali lagi pada etika politik dari para elit politik. Bagaimana memposisikan diri diantara pejabat negara dan elit politik partai politik. Bagaimana berperilaku sebagai seorang negarawan diantara desakan kepentingan politik.

Mempersoalkan Pola Hubungan Presiden-Wakil Presiden Dalam Sistem Presidensial

Pelembagaan politik bentuk pemerintahan dengan sistem presidensial adalah paling banyak dianut oleh banyak negara. US merupakan kiblat utama dari sistem presidensial. Sistem presidensial juga dinilai sebagai bentuk pemerintahan yang lebih modern dan mendukung upaya pembangunan demokrasi. 
Empat ciri sistem presidensial. Pertama, presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilu. Kedua, presiden dan wakil presiden bertanggungjawab pada rakyat. Ketiga, adanya pembatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Keempat, presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan demikian meletakkan posisi presiden dan wakil presiden sebagai puncak kekuasaan yang akan selalu dicapai oleh parpol dalam tiap pemilu. 
Putusan MK Nomor 56/POU/-VI/2008, berarti menutup peluang munculnya kandidat presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Jelas bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik dan/atau gabungan partai politik. 
Akhirnya parpol dihadapkan dua pilihan. Pertama, mengusung kandidat presiden dan wakil presiden dari satu partai. Asumsi dukungan signifikan dalam pemilu legislatif dan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden memiliki derajat keterpilihan dalam Pilpres 2009. Seperti pernyataan Partai Golkar. Bila perolehan suara 30% dalam pemilu legislatif, maka Golkar akan mengusung pasangan kandidat presiden dan walik presiden dari kalangan internal. Kedua, parpol harus menjalin koalisi. Koalisi dua partai atau lebih diharapkan mampu memperbesar derajat keterpilihan pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. 
Koalisi tentunya memiliki pertimbangan. Pertama, kesamaan platform antar parpol dan kandidat. Kedua, dilakukan antar parpol yang memiliki dukungan signifikan. Ketiga, koalisi untuk memperbesar peluang kemengan pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. Keempat, kecocokan secara personal antar pasangan.
Format koalisi menghasilkan ‘win win solution’. Presiden dan wakil presiden merupakan representasi kekuatan politik dan kepentingan. Presiden dari parpol A dan wakil presiden dari partai B.
SBY-JK merupakan koalisi dari Partai Demokrat dan Partai Golkar. Seringkali koalisi tergoyahkan oleh kepentingan politik dan perubahan peta politik yang mengiringinya.
Dipicu oleh sindiran perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2009 akan turun menjadi 2,5% membuat merah telinga para petinggi partai yang diketuai Yusuf Kalla. “sebuah mimpi buruk bagi Demokrat” balasan dari Wakil Presiden yang sekaligus Ketua Umum Partai Golkar. “tidak ada niatan sama sekali menjelekkan karena Golkar merupakan saudara tua” klarifikasi langsung oleh SBY selaku dewan pembina Partai Demokrat sekaligus Presiden RI.
Benih perpecahan dengan cepat menjalar ke arah mengkaji ulang format koalisi SBY-JK. Bukan perkara mudah, dengan perolehan suara 21,6 % pada pemilu 2004 meletakkan seorang ketua umum partai pada posisi wakil presiden. Dan sebuah optimisme tersendiri dengan perolehan 7,4 % partai Demokrat dengan ketokohan SBY mampu meraup dukungan signifikan pada pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. 
Optimisme dan arogansi dua kekuatan politik sangat nampak menjelang Pilpres 2009. JK dengan paratai Golkar-nya menyiratkan siap pisang ranjang dengan SBY dengan partai Demokrat-nya.


Mempersoalkan Hubungan Presiden dan Wakil Presiden
Sebuah pemandangan tak sedap muncul ke permukaan perseteruan SBY dan JK dimulai. Memang patut disesalkan perseteruan ini berdampak pada hubungan kenegaraan. 
Wakil presiden dalam sistem parlementer memiliki posisi sebagai pembantu presiden. Sebagai pembantu presiden,seharusnya wakil presiden menjadi pendukung utama segala kebijakan yang diambil oleh presiden. 
Jelang Pilpres 2009, pola ini berupah total. JK sebagai wakil presiden menjadi lawan utama SBY sebagai presiden, itu diluar kekuatan oposisi Megawati sebagai calon presiden dari PDIP. 
Hubungan kenegaraan SBY dan JK bergeser menjadi hubungan politis. Sikap kenegarawanan antara SBY dan JK, bergeser menjadi sikap elit politik/politisi. Sistim presidensial mengibaratkan presiden dan wakil presiden ‘satu kepala dua kaki’ sekarang berubah ‘dua kepala dua kaki’.  
Inilah yang menjadi problem utama dalam sistem presidensial ketika, pertama, presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda. Kedua, partai politik yang berkoalisi merupakan representasi dua kekuatan politik yang sama-sama besar. Ketiga, presiden dan wakil presiden masuk dalam struktur partai politik yang berbeda. 
Tentunya kondisi ini tidak bisa dibiarkan baik secara konseptual dalam sistem presidensial maupun pelaksanaan di lapangan menyangkut pengaturan pola hubungan presiden dan wakil presiden. 
Solusi dalam perbaikan sistim politik. Pertama, presiden dan wakil presiden berasal dari satu partai politik pemenang pemilu. Kedua, didukung dengan penyederhanaan jumlah partai politik. Ketiga, ketika presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda. Presiden-wakil presiden terpilih harus menagalkan jabatan struktur partai politik. Keempat, regulasi yang mengatur pola hubungan presiden dan wakil presiden hingga masa jabatan berakhir. 
Pembenahan pelaksanaan. Kembali lagi pada etika politik dari para elit politik. Bagaimana memposisikan diri diantara pejabat negara dan elit politik partai politik. Bagaimana berperilaku sebagai seorang negarawan diantara desakan kepentingan politik.

Tanggapan atas Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

Terdapat empat unsur yang membentuk sistem pemilihan umum yaitu:
Pertama, lingkup dan besaran daerah pemilihan. Dimensi ini menyangkut lingkup dan batasan daerah pemilihan (district magnitude) untuk pemilihan DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten. Yang dimaksud dengan daerah pemilihan adalah batas admonistrasi dan/atau jumlah penduduk tempat peserta Pemilu dan/atau calon bersaing dalam memperebutkan suara pemilih, dan sekaligus memjadi dasar penentuan perolehan kursi bagi peserta dan/atau calon terpilih. 
Kedua, pola pencalonan. Dimensi ini digunakan dalam penentuan calon peserta pemilihan umum. Apakah partai politik, apakah independen, atau digunakan kedua-duanya. Aspek lain yang juga termasuk ke dalam pola pencalonan adalah upaya menjamin keterwakilan masyarakat dan kelompok. 
Ketiga, model pemberian suara. Dimensi ini menyangkut pemberian suara (balloting) yang pada dasarnya menyangkut tiga hal yaitu; pertama, apakah suara diberikan kepada partai politik, atau kandidat, atau kedua-duanya; kedua, apakah pemberian suara dilakukan secara kategorik ataukah secara ordilal seperti sistem preferensi yaitu merangking pilihan atas sejumlah calon (alternative vote); ketiga, apakah pemberian suara dilakukan secara tradisional (mencoblos) ataukah secara terpelajar (menulis nama, nomor atau tanda baca). 
Keempat, Dimensi ini menyangkut rumus yang digunakan untuk membagi kursi kepada partai politik peserta Pemilu di setiap daerah pemilihan, dan mekanisme yang digunakan menentukan calon terpilih. 
Ketika pemilihan umum diartikan sebagai mekanisme yang diadopsi untuk mengubah suara rakyat menjadi kursi penyelenggara negara, maka dari keempat unsur yang membentuk ini menyajikan banyak sekali sistim pemilihan umum yang harus diadopsi oleh sebuah negara. Tentunya pilihan sistem pemilihan umum akan disesuaikan dengan kondisi sosial politik dan tatanan politik demokrasi yang hendak dibangun. Tentunya pilihan sistem pemilihan pada salah satu dimensi/unsur akan berakibat konsekuensi pilihan sistim pemilihan pada dimensi/unsur yang lain.  







Untuk lebih memahami secara seksama pilihan sistim pemilihan yang nantinya diterapkan pada pemilihan umum pada April 2009, maka akan dikaji UU 10/2008 berdasar empat dimensi yang menjadi unsur pemilihan umum. 
Unsur Sistem Pemilu UU No. 10 Tahun 2008
Besaran daerah pemilihan 3 – 10 kursi untuk DPR, dan
3 – 12 kursi untuk DPRD
Pencalonan Daftar calon tertutup
Penyuaraan Memberi satu tanda pada kolom nama partai, atau pada kolom nomor urut calon, atau, pada kolom nama calon.
Formula pembagian kursi dan penetapan calon terpilih Proporsional/BPP, dan nomor urut kecuali bagi calon yang mencapai minimal 30% dari BPP
Ambang batas Anggota DPR untuk dapat mendapat kursi di DPR
Jaminan keterwakilan perempuan Wajib mengajuakan minimal 30% perempuan dalam setiap pencalonan, dan setiap tiga calon sekurang-kurangnya satu perempuan setiap Dapil
Sisa kursi Dalam arti sempit dan diberikan kepada P4 yang mempunyai sisa suara minimal 50% dari BPP untuk 13 propinsi Dapil DPR, dan menurut sisa suara terbanyak untuk 18 propinsi Dapil DPR dan untuk DPRD

Undang-undang merupakan produk politik. Dalam arti undang-undang dibuat dan diputuskan oleh penyelenggara negara hasil mekanisme dan sistim politik pula. Di dalamnya merupakan rumusan-rumusan kepentingan. Tidak heran ketika setiap kebijakan dan undang-undang yang telah diputuskan menimbulkan pro dan kontra. Ini tidak terlepas dari pertanyaan Seberapa besar aturan dan undang-undang tersebut mampu mewadahi sebagian besar kepentingan? Dan juga seberapa tegas aturan dan undang-undang memberikan arah yang jelas tetang sistim yang akan dikembangkan?
Begitu juga dengan UU 10/2008 tentang pemilihan DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota/kabupaten menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah pihak mengajukan kritik tajam atas berlakunya UU 10/2009 tersebut karena dianggap merugikan kepentingan-kepentingannya. Setidaknya ada 6 (enam) kritik yang mandasar atas UU 10/2008. 
Pertama, terkait UU Pemilu sekarang menetapkan sistem pemilu adalah Sistem “Proporsional Terbuka”, namun ketentuan bahwa: pertama, calon terpilih ditetapkan dengan bantuan prosentase terhadap bilangan pembagi pemilih (BPP) sebesar 30%, atau bila sama sekali tidak mencapai 30% maka penentuan calon terpilih berdasarkan pada nomor urut.
Kedua, perdebatan mengenai berapa jumlah kursi ideal memang sangat relatif. Karena memang tidak ada model baku terkait penentuan jumlah kursi parlemen. Persoalan bertambah ketika terjadi bebarapa pemekaran sejumlah daerah. Akhirnya langkah kompromi yang diambil adalah menambah jumlah kursi parlemen dari 550 kursi menjadi 560 kursi. 
Ketiga, persoalan penetapan dua macam treshold yaitu Electoral Treshold (ET) dan Parlementary Treshold (PT). Karena ini terkait dengan penentuan peserta pemilihan umum selanjutnya dan sekaligus untuk menentukan batas minimal perolehan suara dalam pemilihan umum untuk bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. 
Keempat, penghitungan sisa suara sampai 50% habis di daerah pemilihan. Sementara itu sisa suara kurang dari 50% dihitung di tingkat propinsi. Jadi perolehan sisa suara partai yang dibawah 50% akan dikumpulkan ke propinsi untuk dihitung dan menentukan partai politik mana yang berhak mendapatkan kursi dari sisa suara. 
Kelima, undang-undang pemilu 2009 ditetapkan 80 daerah pemilihan untuk DPR dengan alokasi kursi masing-masing daerah pemilihan antara 3 sampai 10 kursi. Penambahan jumlah daerah pemilihan dinilai sebagian partai sebagai upaya partai-partai besar untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kursi DPR pada pemilu.
Dan keenam, dihapuskannya persyaratan domisili dan kepengurusan partai politik tidak berlaku lagi. Dengan dihapusnya persyaratan tersebut, maka siapapun warga negara Indonesia dan dimanapun dia berada boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPD untuk daerah pemilihan manapun di Indonesia sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Termasuk yang menjadi pengurus partai politik. 
Dari berbagai kritik tersebut tulisan ini tidak memgkaji konsekuensi-konsekuensi dari tiap kelemahan. Tetapi memfokuskan diri pada kritik terhadap cara penghitungan dan penentuan calon terpilih. Menarik ketika melihat putusan MK terkait pasal 214 yang merupakan rumusan atas penentuan calon terpilih. Tulisan ini juga melakukan batasan tidak mengkaji persoalan perdebatan hukum atas kewenangan MK dalam mengabulkan gugatan sejumlah pihak atas disahkannya pasal 214 dalam UU 10/2008 tersebut. 
Inti kontroversi masing-masing hal tersebut tentang sistem pemilu. Pemerintah mengusulkan sistem pemilu dalam rancangannya adalah sistem proporsional daftar terbuka murni tanpa nomor urut. Usulan tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemilu sebelumnya yaitu sistem proporsional daftar terbuka dengan nomor urut seperti diatur dalam UU No 12/2003. UU Pemilu sekarang menetapkan sistem pemilu adalah Sistem “Proporsional Terbuka”, namun ketentuan bahwa: pertama, calon terpilih ditetapkan dengan bantuan prosentase terhadap bilangan pembagi pemilih (BPP) sebesar 30%, atau bila sama sekali tidak mencapai 30% maka penentuan calon terpilih berdasarkan pada nomor urut.
Usulan pemerintah sebenarnya telah selesai dengan harapan banyak kalangan yang berada di luar parlemen maupun bahkan sebagian partai politik di parlemen yakni bahwa calon yang memiliki dukungan suara terbanyak berhak mendapat kursi. Itulah konsep yang dinilai cukup ideal, karena memberikan apresiasi yang tinggi pada suara rakyat. Dan partai politik tidak mendistorsi pilihan rakyat. Dengan demikian diharapkan terjadi intimasi relasi suara rakyat pemilih dengan wakilnya di parlemen. 
Ketentuan penetapan calon terpilih dengan ketentuan 30% BPP sepintas terlihat sedikit baik. Namun bila dicermati lebih dalam, sebetulnya parpol belum rela menyerahkan kepada rakyat untuk memilih wakilnya di parlemen. Karena bila pada satu daerah pemilihan, jumlah calon yang memperoleh suara 30% BPP melebihi jumlah kursi yang diperoleh parpol maka penentuan siapa yang menjadi wakil di DPR ditentukan berdasar nomor urut dalam daftar calon parpol yang bersangkutan. Demikian juga bila dalam satu daerah pemilihan suatu parpol memperoleh satu atau lebih kursi DPR tetapi tidak ada satupun calon dari parpol memperoleh suara 30% BPP, maka penentuan calon pemenang didasarkan pada nomor urut dalam daftar calon parpol yang bersangkutan.
Berdasarkan simulasi-simulasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga kajian menunjukkan bahwa ketentuan penentuan calon terpilih dengan 30% BPP belum akan merubah peran dominan parpol untuk menetapkan calon terpilih. Dengan jumlah parpol mencapai 38 partai politik peserta pemilu, pasti banyak calon yang akan bersaing memperebutkan suara di suatu daerah pemilihan, kecil sekali peluang bagi calon untuk mendapatkan suara 30% BPP. Artinya otoritas untuk menentukan siapa wakil rakyat pada pemilu 2009 masih berada di tangan parpol dan bukan sepenuhnya pada pilihan rakyat. 
Sistem penentuan calon terpilih seperti itu dinilai mengingkari kedaulatan rakyat dan mengabaikan pilihan rakyat. Karena, intimasi relasi konstituen dengan wakilnya kecil kemungkinan akan terjadi. Itulah sebabnya banyak anggota DPR yang tidak dikenal di daerah pemilihannya. 
MK mengabulkan uji materiel pasal 214 UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Prwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 241 yang di uji materiil-kan ke MK
Huruf a Huruf b Huruf c Huruf d Huruf e
Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kota/kabupten ditetapkan berdasar calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh parpol peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengn perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100 persen dri BPP Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, aka kursi yang elum erbagi diberikan kepada calon berdasar nomor urut Daam hal tiak da calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP, maka calon terpilih ditetapkn brdasar nomor urut

Putusan ini menguntungkan dan memberi peluang bagi para calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menempati nomor urut atas. Makamah Knstitusi (MK) memutuskan caleg aa Pemilu 2009 dientukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasar nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor urut buncit pun berkesempatan sama dengan mereka yang betenger di rutan paling atas. 
Putusan tersebut digodok setelh MK menambahkan permntaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakiln Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Permohonan diajukan oleh cale PDI-P Muhammad Soleh serta caleg Demokrat Sutjipto. Mereka merasa dirugikan atas penentuan lolos tidaknya caleg menjadi anggota dewan berdasar nomor urut. Menurut MK, pasal 214 tersebut inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi keaulatan rakyat sebagamana diatur dalam UUD 1945. 
Dalam permohnannya, Soleh meminta agar pasal 55 ayt (2) dan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Inti pasal 214 menyatakan caleg DPR, DPD, dan DPRD terilih ditentukan berdasar calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika calon yang memenuhi syarat melebihi jatah kursi, kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut kecil.
MK mempertimbangkan ketentuan pasal 214 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terplih adalah calon yang mendapatkan suara diatas 30 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilh) atau menempai nomor urut lebih kecil,betentangan dngan makna substantif dan prinsip keadilan. 
Jika pasal 214 diterapkan, kalau ada dua orang yang tidak memenuhi syarat 30 persen dari BPP, penentuan dilakukan menggunakan nomor urut, menjadi tidak adil calon yang suara rakyatnya paling banyak bisa dikalahkan oleh calon yang suaranya lebih kecil. 
Permintaan pengujian pasal 55 dan 214 karena mengatur mengenai penetapan calon yang sama-sama memperoleh suara lebih dari 30 persen diputuskan berdasarkan nomer urut. Itu tidak adil. Misalnya caleg berada di nomer urut 7 mendapat 99 persen, tapi bisa kalah dengan calon nomer urut 1 yang hanya mendapatkan suara 30 persen lebih sedikit.
Beberapa implikasi politis yang terjadi antara lain, pertama, hilangnya zipper yaitu di mana sistem partai menempatkan perempuan diantara tiga calon tidak berguna. Kedua, perubahan tata cara penetapan calon trpilih. Ketiga, meminimalkan adanya pemilihan ulang. Keempat, potensi penglembnan suara. Kelima, pertarungan tidak hanya untuk melakukan enjaringan suara sebanyak-banaknya, tapi lebih parah pertarungan juga erjadi di dalam pata sendiri.  
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengabulkan bahwa penentuan pemenang dalam pemilihan umum 9 April nanti adalah para calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab Siapa yang diuntungkan dari putusan MK tersebut dan implikasi putusan MK terhadap sistim pemilihan umum 9 April nanti? Lalu dalam kontek demokrasi yang lebih luas, apakah putusan MK telah mturut membangun sistem demokrasi yang lebih baik lagi? Dua pertanyaan mendasar tersebut untuk menilai secara kritis Amar Putusan Mahkamah Konstitusi.
Ditinjau dari sudut pandang sistim pemilihan umum setidaknya putusan MK ini berimplikasi pada Parpol peserta pemilihan umum sendiri, KPU selaku penyelenggara, masyarakat sebagai pemilih. Tentunya semua bermuara pada model penyelenggaraan negara yang akan terbentuk dari hasil pemilihan umum ini:
Pertama, perlu di ingat bahwa pengajuan uji materiil dan pengabulan atas uji materiil pasal 214 UU 10/2008 hingga keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terjadi saat kurang 4 bulan menjelang pelaksanaan pemilihan umum 9 April nanti kurang 4 bulan. Dari sisi waktu pelaksanaan tentunya putusan MK ini akan berdampak pada persiapan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara yaitu KPU dan KPUD Propinsi/ Kota/ Kabupaten. Perubahan terhadap sistem penghitungan calon terpilih ini berdampak pada teknis pelaksanaan di lapangan. 
Kedua, dengan adanya Putusan MK tersebut mengindikasikan masih adanya celah hukum yang bisa dimainkan oleh kelompok tertentu dan peserta pemeilihan umum yang merasa dirugikan dengan lahirnya UU 10/ 2008. Di sisi lain ini merupakan bentuk ketidak pastian hukum atas pelaksanaan dan aturan main penyelenggaraan Pemilu DPD, DPR, dan DPRD Propinsi/Kota/Kabupaten. Terbukti hingga tulisan ini dibuat masih ada gugagtan atas UU 10/ 2008 yang harus diputuskan MK selaku institusi penyelesaian konflik pemilihan umum. Tidak bisa dibayangkan pelaksanaan yang kurang 69 hari masih diwarnai adanya putusan-putusan baru terkait penyelenggaraan pemilihan umum. 
Ketiga, putusan MK ini memiliki implikasi pada perubahan sistim penentuan calon terpilih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan salah satu unsur dalam penyelenggaraan pemilihan umum akan berdampak pad aperubahan unsur-unsur lain. Terjadi dampak bola salju atau dampak ganda dan berurutan. Dalam kontek sistem ini sangat serius dimana harus dilakukan sejumlah kajian ulang terkait penghitungan dan penentuan calon terpilih. Jelas akan diikuti dengan kajian dan penghitungan sisa suara hasil pemilihan. 
Keempat, BPP dalam pengitungan calon pemenang menjadi tidak berfungsi. Yang terjadi kemudian perolehan suara calon terpilih dari tiap partai politik bisa saja berbeda. Misal partai A mendapat 3 kursi di DPR dan pemennagnya Si X memperoleh 50 suara, Si Y memperoleh 48 suara, dan Si Z meperoleh 45 suara. Coba dibandingkan dengan Partai B mendapat 3 kursi di DPR dan pemenangnya Si R memperoleh 44 suara, Si S meperoleh 42 suara, dan Si T mendapat 40 suara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi dimana harga kursi yang diperoleh dari suara partai tidak linier dengan harga dan perolehan suara dari para calon di tiap partai politik. 
Kelima, putusan MK ini juga akan mempengaruhi standart penghitungan PT (parlementary treshold) dan ET (elektoral treshold). Batas kursi parlemen dan batas perolehan msuara secara nasional akan menjadi rancu ketika cara penghitungan suara di tingakat TPS masih rancu. Apakah suara para calon secara otomatis menjadi suara partai atau yang lain. Cara penghitungan perolehan kursi dari partai juga apakan hanya ditentukan oleh suara/ contengan dalam gambar partai atau merupakan gabungan suara yang sah yang diperoleh partai politik.
Keenam, dengan keputusan penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak maka nomer urut seorang calon legislatif tidak berlaku lagi. Artinya kemenangan seorang calon legislatif ditentukan oleh dirinya sendiri, seberapa besar dukungan dari masyarakat.
Ketujuh, dengan suara terbanyak sebenarnya dalam pemilihan umum 2009 ini telah mengalami kemajuan secara sistem, dimana yang sebelumnya pemilihan umum menggunakan daftar terbuka (secara semu) dengan putusan MK maka sistem pemilihan umum DPD, DPR, dan DPRD menjadi sistim proporsional terbuka murni. Sistim ini mendekati apa yang disebut dengan sistim distrik, dimana calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak (majority) maka dia yang keluar menjadi pemenang. Bedanya sistem sekarang masih diakitkan dengan penghitungan perolehan kursi di partai politik dan penentuan pemenang hanya dari dalam partai itu saja tanpa di komparasikan dengan perolehan suara calon lain dari partai yang berbeda. 
Kedelapan, putusan MK ini juga menggeser model ziper bagi calon perempuan. Aturan meletakkan satu caleg perempuan diantara dua sampai tiga caleg laki-laki menjadi tidak berlaku. Tidak ada lagi istilah kuota 30% perempuan untuk mengharuskan duduk di parlemen, karena semua ditentukan oleh perolehan suara dari masing-masing calon legislatif. 
Kesembilan, dengan adanya perubahan maka PR bagi KPU untuk membuat aturan-aturan pendukung dalam tataran teknisnya. 
Kesepuluh, masih menjadi perdebatan karena putusan MK hanya sebagai salah satu sumber hukum bukan dasar hukum seperti UU atau UUD 1945.  
Kesimpulannya terlepas dari perdebatan hukum atas lahirnya dikabulakannya uji materiil pasal 214 oleh MK, putusan tersebut sangat berdampak terhadap sistim pemilihan umum DPD, DPR, DPRD nanti. Dampak terbesar yaitu terhadap unsur penghitungan dan penentuan calon legislatif terpilih. Jelas dengan perubahan sistim maka dari pihak penyelenggara harus mendesain ulang hal-hal teknis terkait penghitungan suara hingga penentuan pemenang. Dampak terhadap sistim pemilu cukup besar dengan adanya putusan MK ini, hal ini sebagai akibat dari tingkat kompromi politik di dalam DPR dalam menyusunan dan penetapan UU 10/2008. 
Ditinjau dari unsur demokrasi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD jelas merupakan sebuah kemajuan yang cukup menjanjikan bagi perkembangan dan pembangunan demokrasi di Indonesia. Beberapa hal yang bisa dicatat antara lain:
Pertama, pengabulan uji materiil pasal 214 UU 10/2008 ini Mahkamah Konstitusi memiliki alasan yang cukup kuat. Mahkamah Konstitusi melihat dan menilai bahwa Pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Di mana dengan jelas dalam UUD 1945 diamanahkan sistim pemilihan umum harus berdasar pengakuan kedaulatan dari rakyat. Sistim pemilihn umum juga mengarah pada proposional terbuka murni. 
Kedua, dalam sistem demokrasi dan sistem kepartaian menjadi salah satu persolan adalah melawan yang dikatakan oligarki partai. Partai menjadi sentrum akan regulasi elit dan mengabaikan kedaulatan rakyat pada titik pembagian-pembagian kekuasaan. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasal 214 UU 10/2008 membuka peluang bagi runtuhnya oligarki partai. Inti pasal 214 menyatakan caleg DPR, DPD, dan DPRD terilih ditentukan berdasar calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika calon yang memenuhi syarat melebihi jatah kursi, kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut kecil. Jika pasal 214 diterapkan, kalau ada dua orang yang tidak memenuhi syarat 30 persen dari BPP, penentuan dilakukan menggunakan nomor urut, menjadi tidak adil calon yang suara rakyatnya paling banyak bisa dikalahkan oleh calon yang suaranya lebih kecil. Jelas berlakunya pasal 214 UU 10/2008 tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan bagi keterwakilan dari rakyat pada calon legislatif. Pengembalian pada nomor urut kecil yang telah ditentukan oleh partai politik berarti mempertegas dominasi elit partai dan mengarah pada oligarki partai politik. 
Ketiga, dengan amar putusan MK tersebut mempertegas model keterwakilan yang akan terbentuk. Calon legislatif yang duduk di parlemen akan mewakili suara dari masyarakat yang telah memilihnya dari daerah pemilihan tertentu. Dengan sistem suara terbanyak ini, juga akan mempertegas pola hubungan antara wakil dengan yang diwakili. Kondisi ini diharapkan para legislatif yang duduk di parlemen akan semakin mengerti kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Di sisi masyarakat yang menyerahkan sebagian kedaulatan pada wakil diharapkan akan semakin ketat melakukan kontrol terhadap wakil rakyat terutama dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik yang diambil. 
Keempat, amar putusan MK terkait pasal 214 ini membuka peluang diterapkanya sistim proporsional terbuka secara murni. Dan diharapkan mengarah diberlakukannya sistim distrik. Dimana dalam sistim distrik tedapaht model keterwakilan yang lebih jelas antara wakil dan yang diwakili dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat secara penuh. 
Kelima, dengan putusan MK ini “suara terbanyak” menghilangkan model keterwakilan dari kelompok perempuan. Kalangan perempuan tidak memiliki perlindungan secara sistem seperti aturan sebelumnya. Desain ziper yang ada dalam UU 10/2008 juga secara otomatis hilang. Karena penentuan wakil yang duduk di legislatif semuanya didasarkan pada perolehan suara terbanyak. 
Keenam, dalam kontek demokrasi dan pengembangan partai, Amar Putusan MK ini akan lebih mendekatkan partai dan wakil terhadap konstituen. Dengan demikian mesin partai akan semakin besar. Suara terbanyak memacu kompetisi tiap calon legislatif berpacu untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya saat pemilu berlangsung. 
Ketujuah, dampak negatif yang timbul adalah tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antar caled dalam satu partai politik dalam mendulang suara pada tiap dapil. 
Kedelapan, tidak bisa dihindarkan wakil yang memenangkan pemilihan hanya bertumpu pada popularitas tanpa diaimbangi oleh kemmapuan personal. Istilah bnayak caleg selebritis yang hanya bermodal kepopuleran. Ini akan berakibat pada kualitas wakil-wakil di parlemen yang dihasilkan dari sistim pemilihan umum pada tahun 2009. 
Kesembilan, mesin partai tidak lagi menjadi tumpuan penggalangan suara dan dukungan. Hal ini memacu putaran modal yang harus dikeluarkan setiap caleg semakin besar. Potensi yang dapat ditimbuklan adalah terjadinya “politik uang” / money politic. 
Kesimpulan yang dapat diambil dari sudut pandang demokrasi ini maka Amar Putusan Mahkamah Konstitusi ini di satu sisi akan mendorong proses demokratisasi yang lebih baik. Di sisi lain masih ada celah yang harus ditutupi seperti calon yang jadi tidak sebatas bermodal popularitas tapi juga harus diimbangi dengan kemmapuan para calon legislatif.  
Tulisan ini sedikit membuka ruang kritis bagi terbangunya sebuah sistim demokrasi yang lebih demokratis. Aturan perundangan yang lebih membuka peluang bagi terwujudnya para calon legislatif yang lebih kredibel. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga sebagi bukti terbukanya celah bagi perbaikan sistim pemilihan umum secara terus menerus tanpa harus memperdebatkan posisi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri.
Hal yang perlu dicatat untuk mengakhiri bahasan terkait Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah:
Pertama, masih munculnya perdebatan Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penyelesaiaan konflik dalam pemilihan umum menandakan perlu adanya pembenahan dalam institusional MK sendiri dan sekaligus terkait batas-batas tugas kewenangan MK. Hal ini untuk menghidari MK sebagai institusi yang tidak kebal akan hukum itu sendiri. 
Kedua, perlu adanya batas waktu bagi semua pihak untuk melakukan gugatan atas sebuah peraturan perundnagan. Hal ini untuk menghindari jeda waktu putusan MK dengan kesiapan teknis pelaksanaan putusan MK. 
Ketiga, perlu adanya pemahaman bahwa perubahan sebuah unsur dalam pemilihan umum akan berdampak pada perubahan unsur-unsur lain. Ini artinya pengajuan gugatan terhadap aturan sistim pemilihan umum harus dipikirkan betul dampak yang akan ditimbulkan tanpa mengurangi esensi dari gugatan terhadap aturan sistim Pemilu.
Keempat, sebaiknya para pembuat keputusan tidak terlalu membuka ruang kompromis yang berakibat pada kerancuan dan tumpangtindihnya aturan atau undang-undang yang akan dihasilkan.

Kamis, 12 Februari 2009

Kemapanan itu membosankan

hal yang terpinting hari ini adlah perubahan.

perubahan akan sebuah harapan baru.

hanya kaum muda yang menentang bentuk kemapanan yang mampu melkaukan perubahan.

MARI BERJUANG..!!!